Tuesday, October 11, 2011

Balai Sarbini-sebuah gedung yang 'bangkit dari kematian' itu digagas pada 1963 oleh Jenderal H.M. Sarbini

Kusam dan terlupakan. Keberadaan Balai Sarbini empat tahun terakhir memang tak lebih penting dari belasan kendaraan omprengan yang tiap sore mangkal di pelataran parkirnya. Ya, halaman yang disulap menjadi "terminal gelap" untuk kendaraan pengangkut pegawai kantoran yang enggan berdesakan naik bus kota.
"Menjadi persinggahan sementara para pelaku komuter (warga kota yang pulang-pergi) menunggu angkutan" ujar Very Setiady, Direktur Pengembang PT Primatama Nusa Indah, kepada TEMPO.

Tapi gedung yang teronggok tak berdaya di sisi timur simpang Semanggi, Jakarta, itu adalah masa lalu. Kini Balai Sarbini bersalin diri. Dindingnya yang dulu secokelat kecoa tak berbekas, menyatu dengan bangunan masif pusat perbelanjaan berdinding kaca, serba transparan, yang mengungkunginya. Termasuk bangunan bertingkat wisma Granada di sebelahnya. Keseluruhan kompleks itu dinamai Plaza Semanggi. "Selain fungsinya sebagai gedung pertemuan, lewat berbagai riset pasar, kami menyuntik fungsi komersial di sekitar Balai Sarbini," kata Very Setiady.

Lihatlah denyutnya. Seminggu setelah Balai Sarbini diresmikan Megawati, berbagai acara antre untuk menggunakannya, dari acara seni teater, pementasan busana, hingga rencana pergelaran seremoni Miss ASEAN. Bahkan Orkes Simfoni Nusantara asuhan Miranda Goeltom nantinya akan rutin manggung di sana.
Itulah buah dari upaya revitalisasi kawasan itu. Dalam arsitektur, revitalisasi dikenal sebagai usaha menghidupkan sebuah kawasan atau bangunan bersejarah yang terabaikan. Ini membuatnya tidak hanya bertahan, tapi juga menghidupi perawatan gedung itu sendiri.

Mengapa gedung yang luput dari perhatian masyarakat ini layak dipertahankan? Balai Sarbini termasuk tua, meski usianya belum mencapai 50 tahun—syarat untuk masuk kategori gedung konservasi yang dilindungi. Juga tidak seperti gedung Museum Fatahillah di kota tua Jakarta, yang memiliki nilai historis yang kuat dan bentuk arsitektur yang langka.

Balai Sarbini sendiri digagas pada 1963 oleh Jenderal H.M. Sarbini, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Veteran dan Demobilisasi. Dia ingin veteran dikenang tidak hanya lewat jasanya, tapi juga dari gedung yang bisa dianggap sebagai monumen. Presiden Sukarno menyetujuinya dan memilih satu dari empat desain rancangan arsitek Ir. Moerdoko.

Bentuknya berupa bangunan bundar dengan atap kubah sebagai simbol topi baja tentara. Di samping kubah itu ada bangunan vertikal setinggi 17 lantai (kedua bangunan ini belakangan disebut sebagai gedung Granada dan Balai Sarbini). Pada zaman itu, pembangunan gedung dengan arsitektur seperti itu adalah terobosan. Indonesia, misalnya, kala itu mulai membangun gedung Ganefo (kini Gedung MPR/DPR) dengan gaya yang sama.

Komposisi antara kubah dan bangunan vertikal memang cenderung tak lazim. "Gaya itu dipengaruhi oleh gaya arsitektur modern yang sedang melanda dunia pada 1960-an, saat itu, dan Indonesia menjadi bagiannya," ujar Mohammad Danisworo, pengamat arsitektur.

Paduan antara bangunan kubah dan blok bangunan menjulang ini sendiri dipelopori arsitek asal Brasil yang mendunia saat itu, Oscar Niemeyer, lewat masterpiece-nya pada era 1960-an, Al-vorada dan The Palace of the National Congress. Karya Oscar ini sangat terkenal dan gayanya segera menyebar ke seluruh dunia. Dia, misalnya, bahkan membangun dua kubah di samping gedung langsing menjulang dengan salah satu kubah terbalik.

Meski sudah direncanakan sejak 1963 (pembangunannya dimulai pada 1965), bangunan ini baru diresmikan pada 1973. Pengelola yang ditunjuk saat itu adalah Yayasan Gedung Veteran RI. Hingga 1990-an, gedung yang disewakan untuk umum ini keteteran dalam perawatan. "Bahkan kursi beroda bisa berjalan sendiri karena lantai gedung ini miring," ujar ketua yayasan, Rais, dalam sebuah siaran pers. Saat itu bahkan Soeharto menganggap arsitektur gedung ini terlalu kuno dan harus direnovasi.
Sempat pada sekitar 1994 diadakan sayembara internasional untuk merevitalisasi kawasan di sekitar gedung itu. Saat itu, menurut Danisworo, yang sempat menjadi ketua tim jurinya, pemenangnya adalah grup arsitek terkenal SOM (Skin Owen Merrill) asal Amerika. Tapi mereka mundur karena terlalu banyaknya risiko, baik dalam struktur maupun pengelolaan nantinya. Investor yang bertahan di antaranya PT Primatama Nusa Indah, yang ditunjuk Yayasan Gedung Veteran, dengan sistem built operation transfer. "Kami boleh mendaur ulang kawasan itu, dengan catatan tidak boleh membongkar kedua gedung lama tadi, dan harus merevitalisasinya," ujar Very. Menurut Very, revitalisasi kawasan itu menelan biaya total hingga Rp 400 miliar.

Upaya ini termasuk tidak mudah dan juga termasuk langka di Indonesia. Para investor bangunan jamak memilih cara klasik: meratakan bangunan lama, lantas membangun bangunan baru di atasnya. Cara ini lebih murah dan mudah. "Untuk revitalisasi Balai Sarbini saja, biayanya 30 persen lebih mahal," ujar Setia Bakty Daud, arsitek revitalisasi keseluruhan kawasan dari grup Airmas Asri.
Pembangunan paling sulit dan lama adalah saat mereka harus memperkuat struktur bangunan Balai Sarbini yang uzur dimakan usia. "Kami tak mau ambil risiko, apalagi sama sekali tidak ada data soal pembangunan awal gedung itu," ujar Bakty. Caranya adalah menggali kembali fondasi Balai Sarbini dan mengikatnya dengan beton pracetak. "Struktur bagian atas bangunan sama sekali tak kami sentuh," kata Bakty. Setelah penguatan itu selesai, barulah tiang-tiang fondasi bangunan sekitarnya dipancang. Kulit bangunan sengaja dibuat transparan dengan material. "Ini supaya Balai Sarbininya tetap menonjol," ujar Bakty lagi kepada TEMPO.

Sesuai dengan rencana, sebagai gedung pertunjukan rutin orkes simfoni, ruang dalamnya dipermak habis, terutama akustik ruangnya. Di bawah kubah, misalnya, dipasang piringan lebar, yang selain berfungsi sebagai elemen lampu, juga sebagai peredam gaung. "Kecuali penyanyi operanya, nantinya instrumen orkestra dapat tampil tanpa sound system," kata Very. Untuk penyempurnaan akustik ini, mereka masih mendatangkan ahli akustik ruang dari Jepang. Semua upaya ini kini membuat Balai Sarbini kinclong, tanpa mengubah bentuknya sama sekali. Apalagi keberadaannya kini menjadi signifikan karena Indonesia memang kekurangan bangunan pertunjukan berakustik bagus.

Sayangnya, selain harga sewa gedung terbilang cukup mahal untuk umum (Rp 25 juta per enam jam), orientasi transportasi di sekitar bangunan terbilang kacau dan membingungkan. Itu karena kawasan ini terletak di persimpangan jalan dan salah satu titik kemacetan Jakarta. Bangunan baru berupa mal, misalnya, menambah kerumunan baru, baik kendaraan maupun manusia. Belum lagi pintu masuk yang jumlahnya banyak dan membingungkan. Salah satunya ada yang persis beririsan dengan halte bus Komdak, halte teramai kala jam sibuk, terutama sore hari. Bisa dipastikan, para pegawai kantoran yang sebelumnya telah "kehilangan terminal gelap" mereka akan semakin sulit mendapat angkutan umum.

Dikutip dari tulisan Endah W.S.


No comments:

Post a Comment